Satu tahun bersama pandemi telah terlewati. Pada awal kemunculannya, warga dipaksa untuk masuk ke dalam ruang-ruang domestik dan beradaptasi dengan situasi normal baru. Kondisi ini tentu mengguncang aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Ketidaksiapan sistem yang formal dalam mengatasi kondisi pagebluk turut menjadi alasan mengapa warga perlu untuk bersiasat sebagai cara bertahan hidup. Tidak terkecuali dengan kerja-kerja kesenian yang dituntut untuk terus berjalan dalam kondisi pandemi. Praktik seni rupa kontemporer yang berjibaku dengan proyek seni berbasis riset, misalnya, harus memikirkan ulang metode berkaryanya. Pameran seni pun banyak yang beralih ke ruang-ruang daring, memaksa penggiatnya untuk menyelami medium berlandaskan “kode-kode di awan”. Walau pada implementasinya, tak jarang dari kita yang masih mencari-cari bentuk yang sempurna dalam presentasi karya seni hari ini, di masa pandemi.
Harus diakui, pandemi membuka kesempatan kita untuk menyelami ruang-ruang domestik, ruang-ruang terdekat kita, untuk melihat lebih dalam potensi apa yang ada di lokasi kita hidup saat ini. Residensi Makassar Biennale 2021 di Kota Pare-Pare mengundang beberapa seniman dan peneliti yang besar dan tinggal di kota ini untuk menguak sisi lain lokasi tersebut. Pemilihan tema “Sekapur Sirih” pun bisa dibaca sebagai bentuk otokritik bagi kita yang masih merasa menjadi tamu di lokasi sendiri. Makassar Biennale bekerja sama dengan Kolektif Bumi Lestari berupaya untuk membingkai otokritik tersebut sebagai pengetahuan dengan menggunakan seni sebagai mediumnya. Pengetahuan lokasi, seperti sejarah lisan, cara hidup alternatif, serta keseharian warga, diharapkan dapat dibingkai dengan perspektif lokal dan merefleksikan siasat-siasat yang bisa digunakan oleh warga, termasuk ekosistem seni, untuk bertahan hidup. Sistem-sistem kemasyarakatan yang memiliki semangat kolektif inilah yang dapat kita baca sebagai respon kontekstual atas absennya sistem arus utama di masa pagebluk.
“Makassar Biennale 2021: Sekapur Sirih” mempersembahkan seniman-seniman yang berpameran pada masa Covid-19 di Kota Pare-Pare: Arif S. Pramono, Denni Adipura, Muhammad Akram, Ronald “Onet” Edy, Syahrani Said (Pare-Pare), serta Komunitas Gubuak Kopi (Solok, Sumatera Barat).
Bulukumba, September 2021
Pingkan Polla
AWAL SEMULA DI KOLONG RUMAH
2021
Oil pastel di atas kertas
Dimensi bervariasi
Denni Adipura (1992) adalah seorang seniman muda asal Kota Pare-Pare. Ia menggeluti bidang kesenian sejak masih mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama sampai sekarang. Denni kuliah di Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyyah Pare-Pare dan pada periode tersebut Denni mencoba dengan medium lukisan di atas limbah kaca. Kemampuan mengombinasikan warna adalah hal yang dia dapatkan secara mandiri tanpa mengikuti sekolah seni. Karya-karya Denni dapat dilihat melalui halaman instagram @denni_adipura.
TAMARIND ALIAS CEMPA
2021
Poster infografis, audio rekaman, dan instalasi objek
Dimensi bervariasi
Ronal Edy atau akrab dipanggil Onet (1994, Pare-Pare) meraih gelar sarjana di Fakultas Seni dan Desain, Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Negeri Makassar. Selain beberapa tahun ini aktif sebagai desainer grafis, Onet selalu tertarik dengan praktik-praktik kesenian yang melibatkan interaksi publik. Karya-karyanya sering mengangkat tentang isu mengenai dinamika Kota Pare-Pare, secara khusus mengenai aktivitas kolektif pekerja seni serta isu politik, sosial, dan budaya. Praktik berkaryanya tentu menggunakan pendekatan desain grafis maupun seni rupa yang diolah menjadi ilustrasi-ilustrasi yang utuh dan eksplorasi tipografi sebagai bahasa visual. Onet sendiri adalah salah satu anggota ADGI (Asosiasi Desain Grafis Indonesia) sebuah asosiasi resmi yang mewadahi profesi desainer grafis Indonesia. Ia sebelumnya pernah terlibat dalam lokarancang Identitas Brand Pariwisata Sulsel. Bersama beberapa kawan, saat ini aktif berkarya di komunitas Animesh yang terdiri dari beberapa bidang minat bakat yang berkaitan dengan industri kreatif, salah satunya seni mural dan pernah menggelar acara kreativitas (Animesh Festival, 2019). Tahun 2021, Onet berkolaborasi dengan Ilham Mustamin, esais asal Pare-Pare, untuk memamerkan karyamnya di perhelatan “Pare-Pare Dalam Esai dan Ilustrasi”.
HARMONI AIR 0.0
2021
Video dan Instalasi Objek
Dimensi bervariasi
Arief S. Pramono merupakan seorang musisi asal Kota Pare-Pare. Ia membuat kelompok musik sekolah saat SMA, namun akhirnya ia memutuskan bermain solo dan aktif mengikuti festival musik yang diselenggarakan oleh kampusnya. Ia merilis single pertamanya berjudul ‘Wajah Bumi’ pada tahun 2016 dan bergabung dengan Rumah Balada Indonesia (RBI) dan mengikuti beberapa gigs melalui RBI. Pada tahun 2017, ia merilis single ‘Kabut Asap’ yang merespon isu kebakaran hutan di Provinsi Riau. Arief pernah menampilkan karyanya di beberapa gigs, seperti Endah Reza House dan Folk Music Festival. Tahun 2018, ia merilis album pertamanya berjudul ‘Segitiga’. Album terakhirnya yang berjudul ‘Serigala Gunung’ dirilis pada tahun 2020 dan memunculkan balada folk sebagai ciri khas Arief S. Pramono.
Muhammad Akram adalah seorang filmmaker kelahiran tahun 2000 asal Kota Pare-Pare. Saat ini, ia sedang menjalankan studi desain komunikasi di Universitas Negeri Makassar (UNM. Ia mulai berkarya di tahun 2014 melalui film yang berjudul “Misteri Iseng-Iseng” dan mengikuti Festival Siswa Seni Nasional (FSSN). Tahun 2017, ia membuat sebuah komunitas filmmaker TPY Creative dengan beberapa kawan-kawan di kabupaten Mamuju dan ikut serta dalam Festival Film Dokumenter di Mamuju. Akram sering terlibat beberapa workshop proyek film pendek untuk siswa Sekolah Menengah Atas dan turut terlibat menjadi bagian dari film “Patongko Siri” di tahun 2019. Awal tahun 2020, dirinya terlibat menjadi bagian dari rumah produksi film pendek dan serial
Kota Pare-Pare, Kareem Corporate. Bersama Kareem Corporate, Akram mengikuti festival film diantaranya Gramedia Film Festival 2020 dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.
MAPPIARA
2020-2021
Instalasi objek & video
Dalam Bahasa Bugis, Mappiara berarti memelihara. Karya berbentuk video dokumenter dan video mapping ini, menggambarkan pengalaman warga di Kabupaten Soppeng dan Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan, yang pernah membuat, memelihara dan mengonsumsi kombucha untuk mengobati berbagai penyakit. Tema karya ini dipilih merujuk kepada pemeliharaan dan perawatan scoby (symbiotic colony of bacteria and yeast) salah satu jenis ragi basah yang berperan dalam proses fermentasi seduhan daun teh dan gula menjadi kombucha. Pada proses alami tersebut haruslah diperhatikan dengan baik, mulai dari menjaga kebersihan peralatan, menakar larutan teh, mencatat waktu fermentasi hingga masa panen tiba, semua dalam satu rangkaian–Mappiara. Makna Mappiara secara meluas bukan hanya tentang memelihara kombucha dari persiapan hingga panen, akan tetapi merupakan representasi dari cara warga merawat diri ketika sakit tanpa harus bergantung pada tenaga medis.
Video Mappiara ini dikerjakan oleh Syahrani Said bersama Soraya Ayu Ananda, Andi Musran, Abdul Rifai, Mohd Alpian Shah, dan Muhammad ikhsan
Syahrani Said mulai bergelut di komunitas lingkungan sejak tahun 2015. Saat ini, ia bekerja sebagai Amil di salah satu lembaga penghimpun zakat sambil membangun jejaring brand lokal di Kota Pare-Pare. Di samping itu, ia menjadi fasilitator pendamping desa dan bergabung di Komunitas Bumi Lestari, Parepare Menulis, Cerita Anak Kompleks dan DDV Pare-Pare.