TRAGEDI DI MEJA MAKAN
2021
Video stop motion, instalasi objek
Karya berupa instalasi meja makan sebagai simbol bahwa apa yang kita konsumsi di meja makan bisa saja berujung tragedi. Meja makan ini ditutupi dengan taplak bergambar ikon inflamasi untuk mendokumentasikan tradisi makan sehari-hari kita yang kini lebih didominasi oleh menu makanan pro inflamasi. Proses inflamasi merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh saat sistem imun menemukan kerusakan sel, iritasi, maupun bakteri. Taplak ini berbahan kain belacu dengan pewarna alami berupa kunyit dan cabai merah besar.
Ekbess juga menjelajahi media video stop motion proses pembuatan empat jenis minuman berbahan utama sayur, buah, dan rempah-rempah sebagai bahan anti inflamasi. Berbagai bahan anti inflamasi ini amat dibutuhkan tubuh agar terhindar dari berbagai penyakit dan bisa dijadikan obat alami yang mudah ditemukan di sekitar kita. Dan merupakan empat jenis minuman yang paling sering dikonsumsi dua narasumber risetnya yang mengobati penyakit menggunakan ilmu naturopati. Metode naturopati adalah pengobatan alternatif holistik yang tidak hanya mengobati gejala penyakit, namun juga mencari tahu akar permasalahannya yaitu pencernaan dan diobati dengan berbagai bahan alami.
Video ini sengaja dibuat dengan komponen warna cerah dan audio ceria agar lebih menarik perhatian anak-anak sehingga mereka lebih dekat dengan berbagai bahan makanan yang penuh nutrisi.
Eka Wulandari atau lebih dikenal dengan sapaan Ekbess. Lahir pada 17 November 1989 di Makassar. Lulusan jurusan Sastra Bugis Makassar, Universitas Hasanuddin. Ekbess kini aktif sebagai seorang penulis lepas sekaligus seorang crafter yang giat membuat kriya dan membagikan kisahnya melalui blog https://camanecraft.blogspot.com/.
TUMBUH SEMBUH
2021
Lukisan Mix Media
100 cm x 100 cm
Lukisan ini terbuat dari campuran bahan-bahan alami yang beberapa di antaranya merupakan komposisi dari pengobatan alternatif yang sering Hirah gunakan sehari-hari, seperti perasan air kunyit dan bayam merah. Bahan-bahan lain yang menjadi pewarna untuk lukisan ini adalah arang, tepung beras, dan kulit buah naga yang Hirah dapatkan di dapur. Selain sebagai pewarna, terdapat pula kulit bawang putih dengan garis pinggir berwarna merah muda terang yang dirangkai membentuk seperti kepulan asap mantra berwarna pink untuk melambangkan perasaan cinta yang ditujukan oleh Ibu dengan memberikan “ramuan” herbal dengan bahan utama bawang putih setiap kali Hirah mengeluhkan sakit yang dialaminya.
Dalam karya ini, Hirah menciptakan sisi gelap dan terang dengan komposisi yang didominasi oleh warna hitam dari arang sebagai pembangun sisi gelap dan warna kuning dari campuran perasan air kunyit sebagai pembangun sisi terang. Sisi gelap memvisualisasikan berbagai hal yang berhubungan dengan penyakit yang telah berhasil disembuhkan dengan ramuan bawang putih ala ibunya selama ini, juga berasal dari cerita orang-orang terdekatnya, mengenai penyakit yang pernah mereka sembuhkan dengan menggunakan pengobatan berbahan utama bawang putih. Sedangkan sisi terang memvisualisasikan organ-organ tubuh Hirah yang telah sembuh dan merasa bahagia karena telah terlepas dari penyakit-penyakit yang jahat dan menyiksa dari sisi gelap oleh ramuan buah tangan ibu.
Dalam proses menikmati karya rupa ini dibutuhkan cahaya lampu ultraviolet sebagai pendukung visualisasi yang disampaikan. Penggunaan cahaya lampu ultraviolet ini membuat kandungan fosfornya menyala dalam kegelapan, yang akan membuat segala hal di sisi gelap akan memudar seiring dengan munculnya cahaya dari sisi terang yang akan didominasi oleh cahaya yang dihasilkan oleh kepulan asap mantra (rangkaian kulit bawang putih), sehingga perasaan cinta semakin terasa tegas dan hal-hal yang sembuh dan tumbuh di sisi terang akan semakin terlihat jelas.
Atthahirah Sanada Nur Charmy Ahmad atau yang lebih dikenal dengan nama Hirah Sanada merupakan salah satu seniman asal Makassar. Hirah Sanada juga menekuni seni rupa sejak 2014 dengan awal menggambar ilustrasi-ilustrasi di buku sketsa dan mulai mengikuti pameran pada tahun 2019. Pameran pertama yang diikuti adalah berbentuk kolaborasi dengan 4 perupa lain asal Makassar pada acara Soundsations 2019. Pada September 2020, ia bekerja sama dengan Siku Ruang Terpadu untuk mengadakan pameran berjudul “Tandem” yang memamerkan enam karya lukisnya. Saat ini Hirah aktif sebagai mahasiswa di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.
ISI PIRINGKU
2021
Instalasi Objek dan Bebunyian
Isi Piringku adalah sebuah projek memasak bunyi-bunyian yang timbul dari dapur. Hasil memasak bunyi ini ditampilkan dalam bentuk lagu dan instalasi alat masak sebagai alat musik.
Projek dilandasi kepercayaan kuno di Tiongkok bahwa makanan adalah obat, hal yang diamini Viny setelah mengubah pola makan dengan lebih memperhatikan porsi nutrisi melalui rumus isi piringku. Viny berangsur pulih dari sakit pencernaan, merasa lebih bugar, berkulit lebih lembab, serta emosi yang lebih stabil.
Runi “Viny” Mamonto (Kotamobagu, 21 juni 1993) adalah seorang ibu rumah tangga yang juga seorang pekerja seni. Aktif menjadi pustakawan Katakerja, sebuah perpustakaan komunitas yang berbasis di Makassar, membuat Viny membentuk sebuah proyek musik bernama Ruangbaca, untuk kampanye perpustakaan. Selain itu, ia juga tergabung dalam band Skin and Blister, yang beranggotakan tiga orang perempuan. Di sisi lain, ia juga menjadi manager band Kapal Udara.
Viny telah merilis satu album yang berisi sebelas lagu bersama Ruangbaca, dan satu mini album bersama Skin and Blister.
REVISI MEMORI, BATU-BATU, DAN BAYANG-BAYANG
2021
Seni performans
Revisi Memori, Batu-Batu dan Bayang-Bayang merupakan karya seni performans Rachmat Hidayat Mustamin kolaborasi dengan seniman visual, Deli Luhukay. Karya ini hendak menyikapi ulang makna hidup atas hari nanti. Performans ini merupakan penggalan-pengalaman manusia tentang proses merelakan diri atas momen-momen dan kondisi-kondisi tertentu sepanjang hayat. Merujuk subtema Makassar Biennale 2021 yakni Sekapur Sirih, performans ini menjadikan proses pemulihan diri sebagai sikap yang dilakoni setiap hari terutama merawat hubungan dengan diri sendiri, antara manusia serta manusia dengan pencipta.
Tindakan-tindakan Rachmat dengan berbagai objek pilihan yang tersedia selama performans ialah responnya terhadap praktik menemani dirinya untuk melepaskan. Rachmat merespons kenyataan sosial masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk menarik diri, menciptakan jarak, terutama dalam situasi tertentu. Bahwa seberapa penting bagi luka/trauma/duka ditemani untuk pergi. Seberapa penting bagi diri sendiri hadir untuk menyelesaikan persoalan.
Rachmat dan Deli juga mencoba memanjangkan pengertian panggung dengan memanfaatkan batu-batu dan bayang-bayang sebagai transformasi kinetic. Tabrakan antara tubuh fisikal-tubuh kinetic ini hadir untuk mencoba kemungkinan gaya ungkap lain di sektor seni performans, sekaligus juga dapat dilihat sebagai upaya untuk memantik imaji-imaji yang dapat ditimbulkan selama, dan selepas performans berlaku.
Rachmat Mustamin bekerja sebagai sutradara, penulis, penyair dan seniman performans. Saat ini, ia adalah Direktur Program dan Kerjasama di Rumata’ ArtSpace & Direktur Artistik Studio Patodongi, sebuah studio lintas disiplin seni yang berbasis di Makassar. Setelah menyelesaikan kuliah Pascasarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta di bidang Penciptaan Seni di akhir tahun 2019, ia mengikuti Residensi Penulis Indonesia di Jerman dengan dukungan Komite Buku Nasional. Dalam rangkaian itu pula, Rachmat diundang mempresentasikan metode artistiknya di Asien Afrika Institut di Universität Hamburg. Karya-karyanya melintasi berbagai medium berupa puisi, film dan performans, di antaranya: Puisi performans, “Kata-Kata Tak Bisa Disentuh” (2018) di #PanggungHBRT, Malaysia; Film pendek, “Blues Side on The Blue Sky” (2018) tayang di Jogja-NETPAC Asian Film Festival; serta teater-film, “[REVISI: 1965]_Gugatan-Gugatan dari dalam Tudung Saji_Final_Fix” (2021) untuk program Helateater Salihara.
Deli Luhukay adalah visual artist yg hidup dan tinggal di Makassar. Dia memulai karirnya dengan menjadi animator dan berlanjut menjadi seorang filmmaker. Saat ini dia menghabiskan waktunya bereksperimen dengan real time visual effects melalui software Touchdesigner dan membuat wine dari nanas.
LIDAH DI AMBANG (EXTENDED VERSION)
2020-2021
Instalasi objek & video
Lilla dalam bahasa Bugis berarti “lidah”. Lidah digunakan untuk mengolah makanan dan kemudian diproses di lambung. Lidah juga menjadi hal penting dalam bertutur, terutama kepada orang lain. Dalam konteks karya ini, kamera telah berfungsi sebagai lidah untuk mentransfer materi kepada penonton/pembaca/penyimak. Sementara “Ambang” merujuk pada persoalan batas, teritori, sekat, dan limit. Karya ini merupakan kemajemukan dari lintas disiplin, di antaranya puisi, seni performans, dan audio visual dengan menggunakan objek utama eksplorasi, yakni air, jahe dan kunyit untuk mempresentasikan laku dan rasa yang dialami manusia hari ini.
Lidah di Ambang hendak menyikapi ulang makna hidup atas hari nanti, penggalan-pengalaman manusia tentang proses merelakan diri atas momen-momen dan kondisi-kondisi tertentu sepanjang hayat serta menjadikan proses pemulihan diri sebagai sikap yang dilakoni setiap hari terutama merawat hubungan dengan diri sendiri, antara manusia serta manusia dengan pencipta.
Rachmat Mustamin bekerja sebagai sutradara, penulis, penyair dan seniman performans. Saat ini, ia adalah Direktur Program dan Kerjasama di Rumata’ ArtSpace & Direktur Artistik Studio Patodongi, sebuah studio lintas disiplin seni yang berbasis di Makassar. Setelah menyelesaikan kuliah Pascasarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta di bidang Penciptaan Seni di akhir tahun 2019, ia mengikuti Residensi Penulis Indonesia di Jerman dengan dukungan Komite Buku Nasional. Dalam rangkaian itu pula, Rachmat diundang mempresentasikan metode artistiknya di Asien Afrika Institut di Universität Hamburg. Karya-karyanya melintasi berbagai medium berupa puisi, film dan performans, di antaranya: Puisi performans, “Kata-Kata Tak Bisa Disentuh” (2018) di #PanggungHBRT, Malaysia; Film pendek, “Blues Side on The Blue Sky” (2018) tayang di Jogja-NETPAC Asian Film Festival; serta teater-film, “[REVISI: 1965]_Gugatan-Gugatan dari dalam Tudung Saji_Final_Fix” (2021) untuk program Helateater Salihara.
PANGGUNG SINRILIK
2020 – 2021
Pertunjukan & video dokumentasi
Arif Rahman Daeng Rate menekuni sinrilik sejak 2010 dengan tampil di banyak panggung kampus dan komunitas yang umumnya di Makassar. Selama tahun 2020-2021, Daeng Rate bersama M. Fadhly Kurniawan, Mughits Mumtaz, dan Aditya Renaldi melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang berjejak sinrilik.
Di Lembang Bu’ne (Kecamatan Rumbia, Jeneponto), Daeng Rate diundang Tata’ Hasan, juru kunci Gunung Lompobattang. Tempat selanjutnya adalah Pajjaiyang (Bantimurung, Maros) untuk acara syukuran panen. Usai mendapatkan undangan dari warga Kassi’loe (Labbakkang, Pangkep) untuk menembangkan sinrilik dalam hajatan memenuhi nazar. Yang terakhir di Binamu, Jeneponto, untuk satu hajatan sunatan.
Berbeda dengan panggung-panggung yang biasa yang dijumpainya di Makassar yang dilengkapi dengan tata suara dan cahaya yang memadai, panggung di kampung-kampung tersebut digelar untuk melipur rindu mereka setelah puluhan tahun tak pernah lagi menyaksikan sinrilik.
Arif Rahman Daeng Rate merupakan pemuda kelahiran Kajang, 1 September 1990. Ia menempuh pedidikan Sastra Inggris di Universitas Negeri Makassar tapi kemudian lebih banyak berkecimpung pada pengkajian tradisi lisan Makassar yang lebih identik dengan program studi Sastra Daerah. Pada tahun ini pula ia mulai menggali keberadaan Sinrilik, seni tutur khas Makassar yang sering disebut-sebut tinggal nama saja karena semakin berkurangnya penuturnya. Tahun 2010 menjadi tonggak penting pertemuannya dengan sinrilik. Ini adalah tahun penting yang kemudian membentuknya menjadi penutur tradisi lisan setelah bertemu H. Syarifuddin Daeng Tutu, seniman dari kabupaten Gowa yang kemudian mengabdikan hidupnya menjaga sinrilik. Kegelisahan terbesar Arif adalah menemukan jawaban mengapa tradisi Sinrilik kian terpinggirkan dan saat ini masih terus mengkaji dan bereksperimen tentang pengembangan bentuk pertunjukan Sinrilik. Di dalam Sinrilik Arif telah menemukan dunia yang kompleks sekaligus membahagiakan untuk dijalani.
SOWAN PROJECT
2021
Instalasi Video
Sowan adalah platform seni rupa yang awalnya dipresentasikan dalam format video melalui kanal Youtube dan IG TV. Karya ini menampilkan video berisikan reaksi kimia mikroskopik dari jamu tradisional yang umum dibuat di rumah antara lain: Jamu Masuk Angin, Jamu Gepyokan, Jamu Kunyit Asem, Jamu Sari Rapet, Jamu Kuat Pria.
Pada setiap video disertai audio hasil kolaborasi dengan para narasumber dari berbagai latar belakang profesi (Penyair, Dokter, Seniman, Dosen, Environmentalist) untuk membahas persoalan persoalan keseharian manusia yang berhubungan dengan khasiat dari setiap jamunya. Bentuk audio beragam seperti pembacaan puisi, cerita pendek, wawancara, maupun sandiwara.
Syaiful Garibaldy alias Tepu, lahir pada 1985 di Jakarta. Ia bekerja di Bandung, lulus dari Jurusan Seni Rupa di FSRD ITB. Sempat mengambil jurusan Agronomi UNPAD yang menjadi latar belakang karya-karyanya yang banyak memadukan sains dan seni yang membuka cara baru mengakses dunia sains melalui karya-karya cetak dan instalasinya. Tepu menempatkan ketertarikannya pada kekuatan dunia microorganisme sebagai simbol kematian dan penguraian di alam sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.
Ia pernah melakukan pameran tunggal, seperti: Sudor, Silverlens, Manila, Philipines (2020), Lemniscate at Mind Set Art Center, Taipei, Taiwan (2018), Limaciform, Silverlens Galleries, Manila, Philippines (2017), Quiescent at ROH Projects, Jakarta (2016) and Abiogenesis: Terhah Landscape at Pearl Lam,Singapore (2014).
Ia juga pernah terlibat pada beberapa pameran kolektif: “And Life Goes On “ Mindset Art Center, Taipei, Taiwan (2020), Opensite, Tokyo Art and Space (2019), Westbund Art Centre in Shanghai, China , Jogja Biennale and Art Stage Jakarta (2017), Sea Plus Triennale at National Gallery, Jakarta (2016), and Prudential Eye Zone at Art Science Museum, Singapore (2015).
Muhammad Akbar, Lahir 1984, bekerja di Bandung, lulus dari jurusan Pendidikan Bahasa Perancis FPBS UPI kemudian melanjutkan studinya di Jurusan Magister Seni Rupa FSRD ITB. banyak bekerja dengan medium video, gambar bergerak & citra digital, praktik artistiknya didasarkan pada kesadaran diri sebagai objek yang dilihat oleh orang lain dan melihat orang lain, yang tertanam sebagai tontonan atau penonton dalam keseharian teknologi layar. Akbar mendorong pemirsa untuk mempertanyakan keadaan dualitas ini dan kesadaran visual mereka sebagai bentuk kontrol sosial.
Pameran tunggal yang pernah lakukan di yaitu: Tatapan [Tak Terlihat] (Gaze [The Invisible]). Selasar Sunaryo (2012). Serta sederet pameran kolektif yang pernah dia ikuti: ‘Kilas Balik’ Selasar Sunaryo Artspace. ID. ‘Strange Things’ Twnty Twnty, 2CavanRoad. Singapore Arts Club. SG. (2020). ‘Assemblage’ Lawangwangi Creative Space, Art Sociates, Bandung ID. (2019). ‘Soemardja Sound Art Project” Galeri Soemardja, ITB. Bandung (2018), “Monsoon Platform” Kobalt Workz & Europalia ID. Vooruit Ghent, BL. “Re-Emergence” Selasar Sunaryo Artspace. Bandung. ID (2017). “Kolektif Kolegial” Cemeti Art House. Yogyakarta. ID (2016). “Looping Loopholes” Yeo Workshop. Gillman Barracks, SG (2015). “Lumieres,” Espace Art Contemporain, La Rochelle, FR(2014).
SUNSET KAYAK DI PANTAI
2021
29 foto karya finalis lomba “Sunset Kayak di Pantai”
Bagaimana mengabadikan momen matahari terbenam (sunset) bila bukan dari pantai? Bagaimana membuat foto-foto itu tetap elok dipandang tanpa perlu ke daerah Pantai Losari (karena matahari terbenam yang konon salah satu yang tercantik di dunia itu terhalang pembangunan reklamasi)?
Tanahindie & Makassar Biennale, bekerja sama dengan sejumlah komunitas serta lembaga menyelenggarakan lomba foto “Sunset Kayak di Pantai”, yang terbuka untuk umum dan segala lapisan umur selama sebulan penuh, mulai 1 Juni hingga 30 Juni 2021. Lomba ini menuntut bukan cuma tangkapan dari mata fotografer, tapi juga kekuatan teks (caption) dan sudut pandang warga biasa tentang pemandangan matahari terbenam yang bukan dari pantai.
Ardiansyah Abe Bandoe, Arnas Padda, Bahauddin Raja Baso, Erwin, Fadly Gaffar, Faiz Fakhri Massalam, M. Kurniawan S., Muh. Mizanul Haq, Muhammad Alif Ramadhan, Suratman Alimuddin, Zakly Putra, Ahmad Fadly, Alif Kurniawan, Amelia Putri, Andi Mey Kumalasari, Kurniawan Eka Mulyana, Muh Deni Darmawan, Muhammad Al Araaf, Muhammad Alif Alim Ariki, Muhammad Cahayadi R., Tri Putri Nurcahyani, Armando Bima, Ndy Pada, Oktafialni Rumengan, Rezki Sugiharti Nurdin
PERSEMBAHAN SANG DEWI
2021
90 x 150 cm
Cat minyak pada kertas
Cukil Kayu
Muhlis Lugis adalah staf pengajar di Fakultas Seni Rupa, Universitas Negeri Makassar. Setelah merampungkan studi di Jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Makassar pada 2011, ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi masternya di Seni Grafis, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Ia dikenal dalam skena seni rupa Indonesia setelah memenangi penghargaan ketiga di Triennial Seni Grafis Indonesia V yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta. Ia juga terlibat dalam beberapa pameran dan pasar seni, termasuk LIU&LUGIS Hallway Exhibition, Ludo Gallery, Singapura (2015); Makassar Biennale (2015 & 2017); Young Art Taipei, Taiwan (2016); Asia Contemporary Art Show, Hong Kong (2016); Pekan Seni Grafis Yogyakarta (2017), dan lainnya.
MANUSKRIP PASONGSONGAN
2020
32 manuskrip di atas kertas
31 x 44 cm
Syahdan, dahulu kala, pada tahun 2020, dunia mengalami musibah tak terperi. Wabah menyerang umat manusia hampir di seluruh muka bumi. Orang-orang mengalami ketakutan dan kecemasan. Wabah seperti hantu karena penyakit itu tak terlihat. Rakyat mengunci diri di dalam rumah, jalan-jalan sepi. Mereka menghindari keramaian. Pada tahun-tahun ketika wabah mengambil banyak nyawa, seorang pujangga dari negeri Madura yang saat itu sedang mengembara ke tanah Jawa, menuliskan suatu kitab hikmah tentang obat-obatan.
Pujangga itu terlahir di suatu daerah pesisir utara. Dia lahir dari kalangan rakyat jelata, dari pasangan orang tua nelayan dan petani asal Pasongsongan. Kedua neneknya, baik dari pihak Ayah maupun Ibunya, adalah seorang penghayat rempah. Sang pujangga mengingat kembali macam-macam rempah yang digunakan neneknya menjadi obat-obatan untuk dituliskan menjadi hikmah bertahan hidup dari dunia yang sedang mengalami musibah besar. Sang pujangga menyebut kitab hikmahnya dengan nama Manuskrip Pasongsongan.
Manuskrip Pasongsongan adalah manuskrip rempah dan biografi pembuatan jamu berdasar praktik dan pengolahan jamu yang dilakukan oleh dua nenek saya selama bertahun-tahun (Rukayya: nenek dari pihak ibu, Sudahma: nenek dari pihak Bapak). Penggunaan aksara Arab Pegon Madura pada manuskrip ini tidak saja sebagai upaya memulihkan ingatan/sejarah atas tindakan pencatatan pengetahuan lokal di masa lalu, melainkan juga sebagai artikulasi tentang bagaimana warga Madura di masa lalu–yang sebagian besar pendidikannya ditempuh di lingkungan pesantren–mendapat akses terhadap pengetahuan berbasis teks (selain pengetahuan yang didistribusikan secara lisan).
Shohifur Ridho’i adalah seniman yang lebih banyak bekerja dengan medium seni pertunjukan dan acap bekerja secara kolaboratif dan lintas disiplin dengan seniman lain. Kini ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Pada tahun 2016 mendirikan rokateater, sebuah platform yang bertujuan untuk menjadi tempat pertemuan dan persimpangan bagi para praktisi di berbagai bidang, dengan menggunakan ‘seni pertunjukan’ sebagai pendekatannya. Di samping membuat pertunjukan dan mengikuti pameran, ia juga mengerjakan proyek kuratorial, di antaranya ialah pameran “Nemor: Southeast Monsoon” di Cemeti Institute, Yogyakarta (2019) dan Festival seni pertunjukan Gugus Bagong, “Transisi”, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta (2020).