Nabire merupakan kota yang pertumbuhan penduduknya bermula dari pesisir pantai. Kota seluas 12 075 km² ini, punya garis pantai sepanjang 473 km, tempat enam suku bermukim: Wate, Yerisiam, Hegure, Mora, Umari, Gwoa, dan Yaur. Pada masa penjajahan Belanda, di Distrik Yaur, basis Suku Yerisiam, pos pemerintahan yang pertama di Kwatisore (Distrik Yaur sekarang) dibuka pada tahun 1912 oleh Gezaghebberd Welt dari Onder Afdeling di Manokwari lalu di Napan Weinami setelah Bestuur Assistent dari Serui mengunjungi Napan tahun 1920 dan untuk pertama kalinya ditempatkan Bestuur Assistent bernama A. Thenu di Napan Weinami, wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Pesisir Pantai ke Goni dan Daerah Pedalaman. Beberapa tahun kemudian Pemerintah Belanda membuka Onder Distrik di Nabire, yaitu pada tahun 1942, dengan Pejabat Distrik Hooft Bestuur Assistent (H.B.A.) Somin Soumokil.
Kota ini pada mulanya hanya sebuah Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai sejak tahun 1963, sejak Papua menjadi bagian dari Indonesia. Pada saat itu, Enarotali sebagai Ibukota Paniai yang terletak di 1.700 meter di atas permukaan laut dan berjarak 300-an kilometer dari Nabire, sedang mengalami hambatan dalam hal transportasi yang hanya bisa didarati pesawat jenis Cessna. Hambatan ini menyebabkan banyak pegawai menumpuk di Nabire. Hal ini “dimanfaatkan” oleh Sukandar Soerodjo, seorang Adjun Komisaris Besar Polisi yang menjabat sebagai bupati Paniai, untuk membuka kawasan hutan Nabire di tahun 1965 -1969.
Pada tahun 1966, Nabire yang pada mulanya hanya ingin dijadikan “pintu gerbang” bagi kawasan pedalaman, resmi menjadi Ibukota Paniai dengan pertimbangan efisiensi. Selanjutnya dengan perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan konsep Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, maka daerah Tingkat II dihapus, sehingga sebutan Kabupaten Dati II Nabire berubah menjadi Kabupaten Nabire.
Dari pantai, kota berkembang ke arah selatan. Tahun 1972 sampai 1973 pemerintah mulai melaksanakan kembali program transmigrasi ke Papua. Di Kabupaten Nabire ditempatkan 80 KK (367 jiwa) transmigran di Girimulyo Nabire. Selanjutnya dari tahun 1974 hingga 1975, kembali ditempatkan 200 KK (713 jiwa) pada lokasi yang berbeda di Nabire. Sampai tahun 1999, untuk Kabupaten Nabire saja, pemerintah telah menempatkan 6.178 KK atau 22.713 jiwa. Penduduk yang berasal dari Jawa, Bali, dan NTB itu bermukim di wilayah yang berjarak sekisar lima kilometer dari pesisir pantai. Pada tahun-tahun 70-an itulah, pertumbuhan penduduk Nabire bertolak ke wilayah dataran tinggi.
Aktivitas masyarakat transmigrasi turut memberi julukan pada kota di kepala burung pulau Papua ini bahkan sampai sekarang, kota ini dijuluki Kota Jeruk seusai dengan hasil pertanian yang mereka hasilkan. Sebelumnya, Nabire dikenal sebagai Kota Singkong merujuk banyaknya singkong yang tumbuh sewaktu kawasan hutan Nabire mulai dibuka. Lalu julukan Kota Emas, Kota Tugu, turut memberi arti bagi perjalanan kota ini.
Kata “Nabire” sendiri memiliki makna yang berbeda versi dari tiga suku di Nabire. Versi Suku Wate menyebut kata “Nabire” berasal dari kata “Nawi” pada zaman dahulu dipertimbangkan dengan kondisi alam Nabire pada saat itu yang banyak terdapat binatang jangkrik, terutama disepanjang kali Nabire. Lama kelamaan kata “Nawi” mengalami perubahan penyebutan menjadi Nawire dan akhirnya menjadi “Nabire”. Suku Wate yang terdiri dari suku yaitu Waray, Nomei, Raiki, Tawamoni dan Wali yang menggunakan satu bahasa terdiri dari enam kampung dan tiga distrik. Pada tahun 1958, Konstein Waray yang menjabat sebagai Kepala Kampung Oyehe menyerahkan tempat/lokasi kepada Pemerintah.
Versi Suku Yerisiam “Nabire” berasal dari kata “Navirei” yang artinya daerah ketinggalan atau daerah yang ditinggalkan. Penyebutan Navirei muncul sebagai nama suatu tempat pada saat diadakan pesta pendamaian ganti daerah antara suku Hegure dan Yerisiam. Pengucapan Navirei kemudian berubah menjadi Nabire yang secara resmi dipakai untuk membei nama daerah ini oleh Bupati pertama yaitu Bapak A.K.B.P. Drs. Surojotanojo, SH (Alm). Versi lain suku ini bahwa Nabire berasal dari Na Wyere yang artinya daerah kehilangan. Pengertian ini berkaitan dengan terjadinya wabah penyakit yang menyerang penduduk setempat, sehingga banyak yang meninggalkan Nabire kembali ke kampungnya dan Nabire menjadi sepi lambat laun penyebutan Na Wyere menjadi Nabire.
Sedangkan versi Suku Hegure “Nabire” berasal dari Inambre yang artinya pesisir pantai yang ditumbuhi oleh tanaman jenis palem-palem seperti pohon sapu ijuk, pohon enau hutan, pohon nibun dan jenis pohon lainnya. Akibat adanya hubungan/komunikasi dengan suku-suku pendatang, lama kelamaan penyebutan Inambre berubah menjadi Nabire.