MB2023 | Pangkep
17531
page-template-default,page,page-id-17531,page-child,parent-pageid-16677,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive
 
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) merupakan salah satu wilayah di Sulawesi Selatan. Berjarak sekitar 50 km di sisi Utara Kota Makassar. Sebagaimana kabupaten dan kota yang lain di Sulawesi Selatan, Pangkep tumbuh sebagai wilayah yang tak lepas skema ekonomi pertumbuhan dalam desain negara dalam satu bentuk.
Sejak dekade 60-an, Pangkep yang dilimpahi kawasan karst menjadi magnet bagi tampuk kekuasaan di ibu kota negara untuk membangun pabrik semen terbesar di luar Jawa. Hingga kini, pabrik Semen Tonasa masih beroperasi dan menjadi penyumbang pemasukan yang menjadikan Pangkep tak pernah lepas lima besar pengumpul APBD di Sulawesi Selatan.
Mitos kesejahteraan yang kemudian berkembang di Pangkep dalam ingatan kolektif masyarakat sejak pabrik Semen Tonasa berdiri, hanya ada dua profesi yang dapat membuat masyarakat sejahtera, menjadi karyawan Tonasa atau PNS. Mitos ini menjadi penuntun bagi warga untuk berdesakan antre memasuki pintu gerbang dua profesi itu.
Gambaran umum tersebut menjadi lonceng kematian benih profesi yang lain. Praktis dongeng generasi Pangkep yang dikisahkan turun temurun berputar pada profesi indah yang bermuara di dunia industri semen dan birokrasi pemerintahan.
Hingga kini, tak pernah sekalipun ada pameran seni di Pangkep. Proyeksi kesenian yang terbangun amatlah didaktis yang sumber utamanya dari pengetahuan singkat pendidikan formal (sekolah). Praktik berkesenian tradisi tentu saja hanya bedak pembangunan dalam hajatan resmi. Misalnya, saja, komunitas bissu yang berpusat di Kecamatan Marang, Pangkep.
Dunia kesenian dipandang sebelah mata dalam semesta pembangunan. Posisinya dikerdilkan sebatas hiasan di ruang publik berupa patung di perbatasan. Belum lagi berbicara soal konsep berkesenian yang modern dengan segala perkembangannya. Jangankan Pangkep, Makassar saja masihlah lalu lintas singkat semesta kesenian di Indonesia karena semua pusat kesenian berpusat di Jawa atau di Bali.
Titik balik wacana kesenian seiring waktu berubah. Dekonstruksi definisi berkesenian terus menyebar dan menjadi konsumsi pelaku seni di daerah. Di tahun 2015, untuk kali pertama, Makassar Biennale tersaji dan membuka horison berfikir tentang pameran seni berskala besar dan berjejaring lintas disiplin pelaku seni.
Jika harus menggambarkan situasi pekerja seni di Pangkep, barangkali kata ‘denyut’ yang paling tepat. Mengukur situasi internal, pusat kesenian di Sulawesi Selatan tentulah berpusat di Makassar. Wajah ibu kota provinsi yang menjadi tujuan labuhan beragam profesi.
Denyut yang terus berdetak turun naik mengikuti segala apa yang bisa dilihat sebagai referensi. Siklus itu dimudahkan setelah perkembangan teknologi informasi yang membuka akses seluas-luasnya dan menjadi gudang referensi. Dampaknya, secara perlahan lahir karya untuk publik menggunakan media digital. Meski demikian, Kerja-kerja kesenian itu masihlah berserak mencari bentuk untuk melepaskan diri dari proses kreatif mimesis dari arus besar.
Denyut pekerja seni di Pangkep bergerak gradual dan belum memiliki satu tempat bersama untuk diapresiasi dengan cara lebih terprogram. Pameran, misalnya, ini yang belum dilakukan karena memang tidak ada ruang (gedung) yang khusus untuk itu. Karya seni belumlah bisa menjadi alternatif dalam pembangunan ekonomi jika harus diukur dari relasi pasar.